Senin, 08 Desember 2008

METODE PENGAJARAN BUDDHA


Penyajian dan penyampaian ajaran yang diberikan oleh Buddha dalam bentuk berbeda-beda dalam bentuk dan penyajian, walupun dalam kontek yang sama, sebagai contoh yang menjelaskan tentang satu jenis perasaan tetapi penjelasannya dirinci dalam dua jenis, tiga jenis, lima jenis, enam jenis, delapanbelas jenis, tiga puluh enam jenis, dan seratus delapan jeni (M.ii.397).

Pada dasarnya metode yang digunakan oleh Buddha dalam mengajar berdasar kasih sayang, inilah salah satu cara untuk menyingkirkan penderitaan. “di sini Yasa, tidak ada yang mencemaskan dan yang menakutkan, aku akan mengajarmu,” ucap Buddha kepada Yasa (Vin.i.15). Buddha adalah guru yang sering diposisikan juga sebagai dokter, dan ajaran-Nya diibaratkan sebagai obat yang dipergunakan dengan tepat (Pmj.21).

Penyampaian ajaran juga dilakukan dengan pendekatan individu atau kelompok. Pemberian kotbah diberikan secara sitematik, agar mudah diingat, penyampaian materi dapat diberi urutan nomor, dikelompokkan menurut tema dan berdasar jumlah butir uraian seperti yang ditemukan dalam kitab Anggutara Nikaya, dalam Dīgha Nikāya juga dapat dijumpai adanya pengelompokan tema yaitu Dasutara Sutta (D.iii.34).

Selain narasi deskriptif dan analisis, Buddha banyak menyampaikan ajaran dalam bentuk cerita dan syair. Pengungkapan konsep mungkin menghadapi keterbatasan kata-kata, karena itu yang dipentngkan adalah menangkap makna. Selain memakai sinonim, berbagai perumpamaan, contoh-contoh, visulaisasi dipergunakan untuk memberi penjelasan. Pada akhir pembahasan dibuat kesimpulan yang singkat tetapi jelas. Teknik semacam ini memudahkan para umat untuk memahami dan menghafal apa yang telah diajarkan.

Hampir semua sutta dalam Digha Nikaya berisi diskusi dan debat. Karena cara yang efektif sepanjang tidak mengabaikan aspek manfaat. Buddha merupakan ahli dalam berdebat dan berdialog, dialektika-Nya selalu membuat lawan debat-Nya tunduk. Yang menarik dari secara Buddha adalah perpaduan antara kepala yang dingin dan jiwa yan hangat (Mukti, 2003:319).

Ajaran Buddha pada prinsipnya tidak ada yang dirahasiakan, bersifat terbuka bagi siapa saja (D.ii.16). Buddha menolak adanya otoritas segolongan masyarakat tertentu, yakni kasta Brahmana, yang mempunyai kewenangan agama dan bersifat diskriminatif. Pandangan egalitarian yang melihat semua orang sederajat (Mukti, 2003:307), sehingga Buddha membentuk struktur monastik yang dinamakan Sangha, menampung murid dari berbagai golongan.

Mengacu yang disampaikan Buddha, strategi dan metode dalam pengajaran dibedakan atas: (1) pendekatan positif; (2) pendekatan negatif; dan (3) gabungan pendekatan positif dan negatif (A.ii.111). Buddha juga membedakan tingkat perkembangan manusia kedalam 4 golongan (A.i.135). jenius (ugghatitannu), intelektual (vipancitannu), orang yang dapat dilatih (neyyo), dan orang gagal (Padaparamo), dengan alasan bilamana terdapat sejumlah siswa yang hampir bersamaan tingkat kemampuan, kebutuhan, karakter, perlakuan yang sama bagi semua siswa menjadi cukup berasalan.

Setiap orang unik, pendekatan dalam memberikan ajaran peru memperhatikan potensi, kapasitas, kebutuhan sifat dan minat. Upaya meluruskan pandangan salah terhadap berbagai teori hanya diberikan kepada kalangan pertapa dan Brahmana (D.i.1), tentunya tidak mungkin diberikan kepada perumah tangga kepada Pangeran Payasi (D.ii.23) dan pemuda Sigala (D.iii.31).

Pada akhir kotbah Buddha mengingatkan, setelah menerima kotbah, agar selalu mendiskusikan, kerja sama, saling membantu, dan tidak mempertengkarkannya (D.ii.16). Dengan memperoleh pengalaman dari orang lain, seseorang dapat belajar dan mengembangkan dirinya sendiri.

Tidak ada komentar: