Senin, 08 Desember 2008

ETIKA BUDDHISME

Kata etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti sifat atau adat kebiasaan, atau ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hal dan kewajiban moral (KBBI, 2001: 309). kedua istilah etika dan moral sering dibedakan penggunaannya. Istilah etika lebih menunjuk pada pemikiran filsafat, sedangkan istilah moral menyangkut ajaran atau peraturan.

Filsuf kuno, Immanuel kant (1724-1804), merumuskan basis moral dalam apa yang secara mengesankan disebutnya “imperative kategoris”, suatu perintah tunggal yang berlaku melampui segenap batas perilaku manusia. Sangat kelirulah bila kita memakai orang lain sebagai alat belaka untuk untuk mencapai tujuan seseorang itu sendiri (Solomon, 2002:421), serta hal yang berlawanan dengan moral dan kebaikan harus dilawan atau dihilangkan (Fausan, 2005:40)

Beberapa referensi Buddhisme sering mendefinisikan etika sebagai moral, kebajikan, atau perbuatan baik. Ajaran Buddha tentang sila adalah etika buddhis, petunjuk dan latihan moral yang membentuk perilaku baik. Menurut kosa kata bahasa pali, sila dalam pengertian luas adalah etika dan dalam pengertian sempit berarti moral (Rasyid, 1997:7).

Pemberian definsi tentang Sila juga sbegai berikut: dapat menunjukkan sikap batin, menunjukkan penghindaran yang merupakan unsur batin, menunjukkan pengendalian diri, dan menunjukkan tiada pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan. Perumusan sila secara sederhana dari sabda Buddha, bahwa hindari perbuatan buruk, yang sebaliknya munculkan dan kembangkan hal yang baik, disertai dengan penyucian pikiran (Dhp. 183). vagga pertama dari Dīgha Nikāya, yakni Silakhanda Vagga. Secara umum dalam Silakhanda Vagga berkonsentrasi pada tata nilai dan sila manusia.

Pada sutta pertama bagian Silakhanda Vagga, Sang Buddha memberikan klasifikasi tentang sila yang diperuntukan kepada perumah tangga (cula sila), sila menengah (majjhima sila), hingga pada para pabbajita (maha sila). Dicontohkan oleh Buddha dengan menghindari pembunuhan, membuang pedang, malu melakukan kekerasan. Dengan penuh cinta kasih, hidup mengasihi dan menyayangi semua makhluk (D.i.1).

Sila merupakan tahap permulaan untuk memasuki kehidupan yang lebih luhur dan orang yang melaksanakannya akan memperoleh kebahagiaan duniawi dan surgawi. Dalam pelatihan Dasa Paramita, sila ditempatkan pada posisi kedua setelah dana, karena sila merupakan dasar dalam berlatih menuju kesempurnaan. Buddha memberikan nasehat kepada perumah tangga, pada hari terakhir sebelum mahaparinibbana, tentang manfaat dari pelaksanaan sila : (1) bertambah materi sebagai penunjang kehidupan; (2) dapat memberikan nama baik; (3) percaya diri dalam berelasi maupun berkomunikasi; (4) ketenangan dalam mengahadapi kematian; dan (5) terlahir dialam surga (D.i.16).

Sutta pertama dalam vagga pertama (Silakhanda Vagga), Brahmajala Sutta mengelompokkan sila dalam tiga kategori: peraturan rendah untuk para perumah tangga (cula sila), peraturan menengah (majjhima sila), hingga peraturan besar untuk para samana (maha sila) (D.i.1). Sangat menarik jika melihat pada sutta ketiga Silakhanda Vagga, bahwa mulia tidaknya seseorang tidak tergantung pada keturunan keluarga, tetapi karena kualitas sila yang dimiliki (D.i.1). begitu pula dinasehatkan kepada para samana agar selalu memiliki sila yang sempurna (D.i.2).

Jawaban juga diberikan kepada Mahali penguasa Licchavi dari Magadha yang mengunjungi Sang Buddha, tentang dhamma yang melebihi, dan meninggalkan jenis konsentrasi duniawi, seorang bhikkhu harus memiliki sila yang sempurna dan mencapai jhana-jhana (D.i.6).

Kepada perumah tangga, Sigala, Buddha memberikan rumusan hak dan kewajiban dalam kesehariannya. Hingga saat ini petunjuk tersebut dapat dijadikan prinsip hidup bagi perumah tangga. Buddha memberikan petunjuk yang terinci tentang enam arah yang wajib dihormati, seperti yang diajarkan oleh para ariya. Enam arah tersebut adalah: (1) menghormati orang tua dan anak, (2) menghormati istri dan anak, (3) menghormati sahabat, (4) menghormati keluarga, (5) menghormati brahmana, dan (6) menghormati pelayan (D.iii.31).

Pelaksanaan terhadap sila harus dilengkapi dengan Samadhi yang dapat menghasilkan kebijaksanaan (panna). Karena kehidupan suci harus direalisasikan melalui perbuatan, ucapan dan pikiran (D.i.2). Pemahaman akan tahu mana yang benar ataupun salah, kurang sempurna, karena dalam praktiknya dapat menjumpai dua atau lebih norma yang saling bertabrakkan, misalnya keadilan dan kemanusiaan (Mukti, 2003:209). Berdasarkan hukum kamma dan sebab akibat (kausalitas), seseorang harus mempertanggungjawabkan apa yang diperbuat.

Contoh dilema adalah mencuri untuk menolong orang miskin, jahat karena mencuri, baik karena manolong orang lain. Agar tidak terjebak oleh etika situasional, harus memperhatikan sejumlah prinsip yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. Setiap pertimbangan etis mempertimbangkan pikiran, niat dan motif yang menjadi akar mula suatu perbuatan; serta sebab akibat sehubungan dengan tujuan atau manfaat. Resiko atau manfaat, resiko atau ancaman dan beban yang harus dihadapi. Baik, jika tidak ada pihak yang dirugikan, tidak menimbulkan penyesalan, serta mengahsilkan pembebasan dan ketenangan dari gejolak nafsu (Mukti, 2003:210).

Tidak ada komentar: