Selasa, 17 Februari 2009

BUDAYA SADRANAN

Kabupaten Temanggung, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Temanggung. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Kendal di utara, Kabupaten Semarang di timur, Kabupaten Magelang di selatan, serta Kabupaten Wonosobo di barat.

Kabupaten Temanggung terdiri atas 20 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Temanggung.


Sebagian besar wilayah Kabupaten Temanggung merupakan dataran tinggi dan pegunungan, yakni bagian dari rangkaian Dataran Tinggi Dieng. Di perbatasan dengan Kabupaten Wonosobo terdapat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Temanggung berada di jalan provinsi yang menghubungkan Semarang-Purwokerto. Jalur Parakan-Weleri menghubungkan Temanggung dengan jalur pantura.

Kota temanggung, menyimpan banyak kisah. bisa dibilang banyak hal-hal indah bisa kita temui di temanggung. bukan hanya dikota, tetapi didaerah-daerah yang masih belum tersentuh dengan moderenitas.

contoh saja, dikecamatan kaloran. 20 km utara kota temanggung, yang berdekatan dengan kabupaten semarang. kultur masyarakat yang sangat majemuk, tetapi masih didominasi oleh masyarakat petani. mereka masih memegang budaya-budaya yang diwariskan oleh leluhurnya.

Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung mempunyai 14 Desa yaitu :1. Desa Kaloran, 2. Desa Tlogowungu, 3. Desa Gandon, 4. Desa Tleter, 5. Desa Getas, 6. Desa Kalimanggis, 7. Desa Tempuran, 8. Desa Kemiri, 9. Desa Geblog, 10. Desa Tegowanuh, 11. Desa Keblukan, 12. Desa Tepusen, 13. Desa Gandulan dan 14. Desa Kwarakan

salah satu budaya dan tradisi yang turun temurun dianggap sebagai salah satu media dan terima kasih kepada alam ialah dengan sadranan. 

tradisi sadrana biasa dilakukan pada pertengahan tahun, yaitu awal bulan agustus. tetapi hal ini tidak lah tepat, karea masyarakat jawa menggunakan perhitungan kalender saka. Pemilihan hari tanggal, di samping sebagai hasil kesepakatan.

 
Tradisi nyadran ini dilakukan secara turun-temurun. Sebagaimana ritual dalam penanggalan Jawa lainnya, seperti Suranan, Muludan, dan Syawalan, esensi nyadran adalah memanjatkan doa kepada Tuhan agar diberi keselamatan dan kesejahteraan. 

Kita akan menemukan nuansa magis dan unik dalam ritual nyadran. Keunikannya, selain menggunakan uba rampe tertentu, nyadran dilakukan di situs-situs yang dianggap keramat dan dipercaya masyarakat lokal bisa makin mendekatkan dengan Yang Kuasa.

Tempat-tempat itu biasanya berupa makam leluhur atau tokoh besar yang banyak berjasa bagi syiar agama. Sebagai contoh, di salah satu kampung lamuk kalimanggis kaloran, masyarakat melaksanakan nyadran selama 3 kali dalam setahun di beberapa tempat, yaitu pertapaan randu kuning, pertapan watubadut, dan leluhur. 

Nyadran telah membangunkan sebagian warga di dusun kecil ini dan menciptakan keakraban tersendiri. Nyadran diawali dengan ritual membawa tenong. Ratusan warga berjalan kaki  sambil membawa tenong yang berisi sesaji.

selama berlangsungnya upacara sadranan, bukan hanya nuansa religiusitas yang ditunjukkan, tetapi budaya setempat juga diekspos. pada upacara tersebut biasanya didahului oleh beberapa "pitutur" dari sesepuh kampung, pesan dari instasi pemerintah, kemudian doa. doa biasanya mengikuti kepercayaan setempat, yaitu dengan tradisi buddha. 

pada akhir upacara, yaitu sore harinya masyarakat menampilkan beberapa kesenian daerah. 

Bagi sebagian masyarakat Jawa, bulan Ruwah atau Syakban merupakan waktu yang tepat untuk melakukan nyadran. Nyadran atau sadranan adalah kegiatan sosial keagamaan tahunan. Esensinya adalah melakukan ziarah ke makam para leluhur. Bagi komunitas sosial saat ini, nyadran dipahami sebagai bentuk pelestarian tradisi nenek moyang. 

Dalam implementasi sebenarnya tidak sekadar gotong royong membersihkan makam leluhur, selamatan dengan kenduri, membuat kue apem ketan kolak sebagai unsur utama sesaji sebagai landasan ritual doa. 

Nyadran sekarang berkembang menjadi ajang silaturahmi dan bertemunya sanak saudara sekandung, sepupu, dan seterusnya. Jauh hari masing-masing sudah mempersiapkan diri, menyusul undangan yang diterima dari paguyuban yang sekarang disebut trah, suatu organisasi keluarga yang menggunakan nama leluhur, apakah dari eyang buyutnya atau kakeknya, ayahnya.


Doanya menggunakan tata cara agama buddha. Rampung doa, semua mencicipi makanan yang digelar, ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri, maklum beberapa warga pulang dari rantauan hadir dalam kenduri.  Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotong royong, guyub, pengorbanan, ekonomi. Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar. Di sinilah ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah. 


Kemiripan terletak pada kegiatan manusia berkaitan dengan leluhur yang sudah meninggal. Ada pengorbanan, ada sesaji, ada ritual sesembahan yang hakikatnya adalah wujud penghormatan terhadap yang sudah semare (meninggal). Manusia Jawa kuno dahulu meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal seakan masih ada dan terus memengaruhi kehidupan yang ditinggalkan. Misal, saat hari tanggal meninggalnya (geblagge) orangtua, apakah ayah, ibu, kakak, adik, sering membuat sesaji berupa kue, minuman yang dulu menjadi kesukaan yang meninggal. Disajikan di meja, ditata rapi, dikasih bunga setaman, lampu (di desa biasa memakai sentir, lampu minyak atau teplok). 

Craddha, menurut Budi Puspo Priyadi, Buletin Antropologi Nomor 15 Tahun V/1989, berasal dari bahasa Sansekerta sraddha, artinya keyakinan, kepercayaan, percaya. Semua itu dapat dikaitkan dengan pengorbanan leluhur yang sudah mendidik, membiayai anak-anak, hingga menjadi orang yang sukses. Bagi yang berkemampuan, pulang nyadran dengan beramal merupakan manifestasi hormat, penghargaan kepada leluhur sehingga ada pemahaman mendhem jero mikul dhuwur. 

Dalam konteks sosial dan budaya kekinian, nyadran dapat dijadikan wahana perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme. Kita dapat melihat, ketika nyadran trah tertentu tidak terasa terkotak-kotak dalam status sosial, kelas, saudara berbeda agama, golongan, partai politik berkumpul menjadi satu. Mereka berbaur saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain. Terasa damai dan hangat familier. Apabila nyadran ditingkakan kualitas jalinan sosialnya, rasanya Indonesia ini menjadi benar-benar rukun, ayom ayem, tenteram.