Senin, 08 Desember 2008

WAWASAN KEBANGSAAN DALAM KITAB DIGHA NIKAYA

Sifat dan dasar dari semua agama bersifat universal yang mengatasi perbedaan bangsa. Tradisi kuno memberikan arti bahwa bangsa sebagai kesatuan dari orang-orang yang bersamaan asal keturunan, sama pula dalam bahasa dan adat. Asal keturunan memang penting, karena itu sang Buddha mengajarkan kita agar berbakti kepada orang tua dan leluhur (D.iii.31), tetapi martabat manusia tidak diturunkan menurut kasta dan kelahiran (D.i.1).

Setiap warga Negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap Negara. Pembedaan suku dan ras dapat menjadikan potensi konflik. Hal serupa terjadi pada Ambhata yang menyadari bahwa ia bukan keturunan brahmana yang asli (D.i.3), sehingga memiliki hak dan kewajiban yang sama didalam Negara.

Watak demokrasi dari ajaran Buddha menyangkut persamaan dan kebebasan bagi setiap orang, merdeka dalam mengeluarkan pendapat, dan bersifat terbuka (D.ii.16), dan memberi kesempatan bagi perbedaan pendapat dan kritik (D.i..1). Dalam wacana kehidupan bernegara, pandangan ini memberi tempat bagai oposisi dan mendasari apa yang disebut permusyawaratan dan kemufakatan.

Wawasan kebangsaan tidak akan terelepas dari apa yang disebut dengan demokrasi. Sistem konstitusionalme selalu menjunjung tinggi demokrasi. Merujuk pada pendapat Nakae (dalam Mukti, 2003:491), konstitualisme merupakan bdhisatva yang patut dihormati dan sekedar pengnapan, sedankan demokrasi merupakan Buddha yang patut dicintai dan merupakan rumah terakhir.

Kedaulatan dalam sisetem demokarsi dijunjung tinggi, hingga mencapai kesejahteraan suatu bangsa. Sang Buddha mengemukakan syarat-syarat kesejahteraan suatu bangsa, yaitu : (1) pertemuan dan permusyawaratan; (2) mencapai mufakat; (3) menjunjung konstitusi; (4) menghormati pemimpin; (5) menghormati kedudukan wanita; (6) kewajiban beragama; dan (7) melindungi para pemimpin agama (orang suci) (D.ii.16).

Buddha menunjukkan bahwa fenomena demokarsi dan kedaultan ditangan rakyat dapat diikuti dari sejarah lahirnya kontrak sosial untuk membentuk pemerintahan, sekalipun bentuknya monarki (D.iii.27). penguasa itu dipilih oleh orang banyak, diangkat melalui persetujuan rakyat.

Kepemimpinan dapat didefinisikan bermacam-macam tergantung dari titik tolak pemikiran dan pendekatan yang dipergunakan. Drucker (dalam mukti, 2003:504) mendefinisikan kepemimpinan sebagai usaha untuk mengangkat pandangan seseorang ketingkat yang lebih tinggi, meningkatkan prestasi, membentuk kepribadian yang melampaui batas biasa, pandangan seperti ini dapat dikatan mendekati pemikiran buddhis.

Sistem demokrasi dalam pemilihan pemimpin adalah melalui persetujuan rakyat, hal ini identik dengan yang disampaikan oleh Buddha, bahwa beliau tidak mewariskan kekuasaan, dan tidak ingin mengantungkan diri kepada sosok figur pemimpin

1 komentar:

Light mengatakan...

Referensi bukunya tolong di Cantumin,
biar para pembaca bisa membaca lebih lanjut.

misalnya
Priastana, J. 2004. Buddha Dhamma Dan Politik. Jakarta: Yasodhara Puteri.