Senin, 08 Desember 2008

Wacana Awal Kitab Digha Nikaya

Para ahli sejarah sulit mengetahui secara pasti, kapan dan didaerah mana bahasa pali digunakan di India (Supandi, 1995:xii), berbagai sumber yang berkaitan kurang memberikan kejelasan bahasa yang digunakan oleh Sang Buddha dalam mengkotbahkan ajarannya. Dalam penggunaan bahasa, Buddha menggunakan lebih dari satu bahasa maupun dialek terbukti dengan pemberian nasehat kepada para muridnya untuk menyesuaikan diri dengan bahasa lokal tempat mereka mengajarkan Dhamma (M.ii.234).

Penelitian memperlihatkan Buddha menggunakan bahasa Ardhamagadhi (Conze, 1981:17), Sedangkan berbagai sekte dalam perkembangan agama Buddha mencatat sendiri sabda-sabda Buddha (Tani, 1995:561). Prof. Kogen Mizuno dalam bukunya Buddhis Sutra Origin, Development And Transmission, bahwa Sarvastivada menggunakan bahasa Sanksekerta, Mahasanghika menggunakan bahasa Gandhari Prakit, Samitiya menggunakan bahasa Apabhramsa, dan Sthaviravada menggunakan bahasa Paisaci (Mizuno, 1982:32-39).

Perkembanganya semua kitab suci agama Buddha merupakan terjemahan karena sudah sangat sulit diperoleh dalam bentuk aslinya (Tani, 1995:561). Penulisan kitab suci ada dasarnya terdapat dua versi kitab suci yang lengkap, bersumber pada bahasa Pali dan Sanksekerta. Kitab tipitaka, yang menggunakan bahasa Pali karena dimiliki dan diyakini oleh kaum Theravada. Tipitaka yang terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok disiplin (Vinaya pitaka), kelompok dhamma (sutta pitaka), dan kelompok analisis (Abhidhamma pitaka). Salah satu memuat kumpulan kotbah-kotbah Buddha (Sutta Pitaka) terbagi kedalam beberapa Nikāya, yang salah satu dari lima Nikāya adalah Dīgha Nikāya.

Alasan para Thera untuk membagi kelompok sutta terbagi dalam lima Nikaya didasarkan atas pengelompokan ajaran (Dhamma Vibhanga), ukuran kotbah, dan tujuan pengajaran (Buddhistonline, -:- ). Pengelompokkan dimulai pada Sangha Samaya pertama, yang dimulai dengan tanya jawab terhadap Himpunan Pembabaran Panjang (Dīgha Nikāya), Himpunan Pembabaran Menengah (Majjhima Nikāya), Himpunan Pepatah Serumpun (Samyutta Nikāya), Himpunan Pepatah Bertahap (Anguttara Nikāya), dan Himpunan Kecil (Khuddhaka Nikāya).

Gaya bahasa digunakan dalam penulisan Dīgha Nikāya berbeda dengan penulisan Nikāya lain terutama dalam Samyuta Nikāya (Wena, 2007:15). Bahasa sederhana langsung mengarah pada sasaran merupakan ciri khas dari Dīgha Nikāya, terutama ditujukan pada perumah tangga. Pesan disampaikan kepada pemuda Sigala menggunakan bahasa sederhana dan sistematis, sehingga mudah dipahami, bahasa kiasan dihindari oleh Buddha. Hal berbeda dengan cara penyampaian terhadap para pertapa perihal manfaat menjalani kehidupan sebagai seorang pertapa (D.i.2), penuh dengan penjelasan yang cukup terperinci.

Dīgha Nikāya penuh drama, narasi dan memiliki hiasan-hiasan imajinatif dan legenda. Terlihat pada Brahmajala sutta (D.i.1), dengan penuh drama, Buddha memberikan solusi diantara supiya dan brahmadata yang sedang berdebat. Maha samaya sutta, Buddha mengisahkan para Buddha terdahulu yang penuh dengan bahasa legenda (D.ii.20), dengan hiasan-hiasan imajinatif Buddha menjelaskan tentang evolusi alam semesta (D.ii.27).

Dalam menjelaskan sutta-sutta termasuk di dalam Dīgha Nikāya, yang mencakup kotbah, tempat dan judul, dipertimbangkan agar menjadi jelas. Kesemuanya termasuk asal mula (Samutthana) yang juga disebut cara penyampaian (Nikkhepa), atau sumber/keadaan (Nidana). Pemberian nama kotbah-kotbah Buddha yang dipilih dalam Pitaka-pitaka umumnya diberi sesuai dengan nama tempat, pokok dhamma, dan tokoh.

Sutta-sutta yang terkumpul dalam Dīgha Nikāya memiliki penjelasan yang panjang, dibandingkan koleksi yang muncul kemudian yakni Majjhima, Samyutta, Anguttara, dan Khudhaka yang terakhir. Dīgha Nikāya mengandung penjelasan yang terperinci tentang pokok permasalahan besar yang mengandung etika, sosial, ekonomi, bahkan wawasan kebangsaan.

Judul-judul Vagga tidak memiliki makna khusus dan tidak berarti semua Sutta di dalam Vagga itu berhubungan dengan ide yang disiratkan oleh judulnya. Sistem pengelompokkan sutta menjadi Vagga tidak beraturan, walaupun kadang-kadang beberapa sutta yang berurutan berhubungan dengan satu tema yang sama atau mencontohkan pola yang diperluas (Wena, 2007:33).

Digha Nikaya terdiri dari 34 kotbah panjang yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Silakhanda vagga, Maha vagga dan Patikha vagga. Pendapat para pakar, bahwa landasan utama untuk membedakan Nikāya dalam Sutta Pitaka adalah panjangnya sutta-sutta. Joy Mane dalam Samyutta Nikāya terjemahan Wena menentang asumsi bahwa hanya panjangnya saja yang menjelaskan berbagai perbedaan diantara Nikāya-Nikāya Secara cermat Mane membandingkan sutta-sutta yang terdapat dibeberapa Nikāya memiliki tujuan yang berbeda. Namun ukuran sutta, setting kotbah, dan pokok dhamma, dapat juga disebut sebagai samutthana menjadi latar belakang para thera untuk mengelompokkan sutta dalam ketiga vagga pada saat sangha samaya pertama.

Dīgha Nikāya merupakan koleksi pertama dari Sutta Pitaka pali. Sejarah mencatat bahwa pengulangan Dhamma dan Vinaya dilakukan secara terus menerus pada Sangha samaya pasca Parinibbana Buddha. Pada Sangha samaya pertama pengulangan Dhamma dan Vinaya secara resmi disetujui dan disusun secara sistematis. Pada Sangha samaya pertama Bhikkhu Upali mendapat mandat untuk mengulang Vinaya dan Bhikkhu Ananda mengulang Dhamma (Vin.II.287). Para pelestari Dhamma dan Vinaya masih menggunakan transmisi lisan dalam rangka melestarikan ajaran. Bahkan selama masa kehidupan Sang Buddha para bhikkhu dilatih untuk mendengarkan ajaran dengan penuh perhatian (A.V.136), menyimpannya dalam pikiran, dan mengajar murid-murid mereka untuk mempelajari ajaran-ajaran itu dengan menghafalkannya berulang-ulang.

Tidak ada komentar: