Minggu, 21 September 2008

EKONOMI BUDDHIS

Istilah ekonomi berasal dari kata oikonomos yang berarti aturan atau pengelolaan rumah tangga. Ekonomi memfokuskan perhatian hanya kepada kepentingan kesejahteraan manusia, sehingga seringkali dianggap melanggar kepentingan makhluk lain dan lingkungan (Mukti, 2003:392). Harus diakui secara jujur bahwa sebenarnya ilmu ekonomi sebenarnya secara implisif maupun eksplisif merupakan perjuangan untuk hidup, yang tak lain adalah persaingan bebas. Hal ini sigalovada sutta dan bentuk pengorbanan yaitu dalam kutadanta sutta yang dapat dijadikan menjadikan pedoman.

Hingga pada ilmu ekonomi seperti yang diajarkan oleh Buddha, terdapat beberapa hal yang patut untuk digaris bawahi yaitu persolan keserakahan (lobha) dan penegasan terhadap pentingnya gaya berpikir yang bijak (wisdom). Prinsip moral pula yang diajarkan oleh Buddha melatarbelakangi ilmu ekonomi muncul bagi pemeluk agama Buddha. Prinsip ini harus komprehensif karena diterapkan dalam kegiatan ekonomi. Ekonomi identik dengan mata pencaharian. Mata pencaharian yang merupakan salah satu dari delapan unsur jalan mulia berunsur delapan, tentunya mata pencaharaian yang benar. Bagi yang menjalankan penghidupan benar tidak akan merugikan makhluk lain.

Dasar ekonomi Buddhis adalah kesederhanaan dan tanpa kekerasan. Polanya rasional, dengan cara yang sedikit dicapai hasil yang memuaskan. Ilmu ekonomi modern menganggap konsumsi sebagai satu-satunya tujuan dari segala kegiatan ekonomi, dan faktor-faktor produksi sebagai alat.

Sigalovada sutta memberikan penjelasan akibat dari mengkonsumsi bahan yang menimbulkan ketagihan, tentunya berpengaruh dengan keadaan ekonomi, yaitu : (1) memboroskan kekayaan; (2) adanya pertengkaran; (3) berpenyakitan; (4) hilangnya watak baik; (5) menampilkan diri secara memalukan; dan (6) melemahkan daya pikir (D.iii.31).

Terdapat lima prinsip ekonomi tidak dibenarkan, yaitu menipu orang lain, membual, menfitnah, menggelapkan, dan mengambil untung yang berlebihan (M.iii.75). Para Bhikkhu tidak dibenarkan dalam berbagai bentuk perdagangan, mencari makan lewat penujuman dan pengobatan. Walaupun demikian kegiatan semacam ini tidak jarang disalahgunakan (D.i.1) dan juga menghindari bisnis yang merangsang nafsu indera (D.iii.31).

Kembali pada prinsip awal, kemunculan ajaran Buddha merupakan ajaran pembebasan, namun sama sekali tidak memusuhi akan kesejahteraan hidup. Buddhisme membenarkan usaha untuk melenyapkan pengangguran, tetapi bukan menghasilkan produksi maksimal mungkin, melainkan memberi pekerjaan bagi setiap orang untuk membutuhkan kerja (Mukti, 2003:407).

Kegiatan ekonomi tidak terlepas dari utang piutang. Buddha menghubungkan utang dengan rintangan batin, seperti halnya penyakit, dan sangat tidak menyenangkan (D.i.31). Mudah dimengerti kenapa Buddha mengingatkan bahwa kebahagiaan karena memilki hasil dari usaha sendiri, tidak mempunyai utang, dan tidak mempunyai perbuatan tercela (A.ii.86), pada intinya segala kegiatan kegiatan perekonomian dapat memberikan kebahagiaan pada masa sekarang maupun yang akan datang (D.i.5).

Dalam praktek bisnis, tidak jarang orang melakukan spekulasi atau yang bersifat untung-untungan. Buddha menolak spekulasi, karena mengetahui benar sampai dimana spekulasi itu menyangkut keinginan dan kemelakata, tujuan, akibat atau hasil dari pandangan-pandangan tersebut pada waktu yang akan datang, semuanya bersifat membodohkan (D.i.1).Ukuran kebahagiaan adalah keadaan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, welas asih, simpati, dan keseimbangan batin (D.iii.78). Pembagian kekayaan yang terkumpul menjadi beberapa bagian, yaitu: satu bagian keperluan sendiri, dua bagian untuk mengembangkan usaha, dan bagian keempat disimpan sebagai cadangan atau tabungan (D.iii.31).