Senin, 08 Desember 2008

SOSIAL BUDDHIS

Sejak awal kemunculannya agama Buddha syarat akan fenomena sosial yang menyangkut persoalan kemanusiaan. Pada awal misi penyebaran dhamma Sang Buddha bercita-cita ingin mewujudkan sistem masyarakat yang dinamis, dengan memperhatikan masalah-masalah kemanusiaan, namun tidak mengesampingkan perkembangan spiritual. juga demi kebahagiaan dan kebaikan banyak orang, demi kasih sayang terhadap dunia, demi kebaikan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.

Latar belakang kemunculan Buddha bukan lain adalah terdorong rasa kasih dan menyelamatkan manusia (A.i.22). Seorang pangeran dengan segala bentuk ketercukupan meninggalkan semua yang dimiliki demi sebuah pencerahan. Walaupun berlatar belakang dari kalangan kasta Bangsawan, Buddha dengan sadar tidak begitu pentingnya akan hal itu. Buddha menyangkal kalau derajat manusia ditentukan oleh kasta yang diwariskan turun temurun dan mengikat sepanjang hidupnya. Sang Buddha tidak pernah membedakan kasta dalam menerima orang-orang untuk memasuki komunitas sangha. Apapun kastanya, yang berbuat baik akan dilahirkan di alam yang menyenangkan, yang berbuat buruk akan dilahirkan dialam menyedihkan (D.iii.27).

Ratnapala (dalam Mukti, 2003:450-452) memberikan lima alasan kenapa Buddha menolak klasifikasi masyarakat, yaitu : 1) pertimbangan bilogis, manusia merupakan satu spesies yang sama; 2) evolusi, tradisi kasta bukan diciptakan pada awal mula kehidupan manusia tapi karena manusia sendiri yang menciptakan (D.i.3; D.iii.27); 3) sosiologis, hanya berlaku dalam masyarakat hindu, bukan bersifat universal; 4) etis dan moral, moral dan spiritual tidak berhubungan dengan kasta; 5) kesatuan spiritual kemanusiaan, setiap manusia memiliki hak sama yang meningkatkan nilai spiritual, semua berpotensi untuk menjadi Buddha.

Ajaran Buddha menawarkan penyelematan melalui jalan tengah (atta arya magga). Ajaran Buddha secara tekstual maupun empiris sebagai realitas sosial-kultural tidak bersifat eksklusif karena sangat mengutamakan aspek kemanusiaan (Mukti, 2003:457).

Aspek kemanusiaan banyak didefiniskan dengan istilah humanisme. Humanisme merupakan gerakan yang menghargai kebebasan dan martabat manusia dalam mengembangkan seluruh kebudayaan (Gerald, 1996:107). Dalam studi humanisme, individu maupun kamunitas manusia dijadikan obyek terpenting. Tujuannya adalah menghidupkan rasa kemanusiaan dan menciptakan pergaulan manusia yang lebih baik.

Kitab Dīgha Nikāya sejalan dengan prinsip humanistik, bahwa diri sendirilah manusia adalah sumber kekuatan dalam mencapai kesempurnaan hidup. Keselamatan manusia dapat dicapai dengan usaha sendiri (D.ii. 16; D.iii.26), dan Buddha menolak bahwa kselematan tidaknya hidup ditentukan oleh dewa maupun brahma (D.i.1).

Humanisme memandang manusia itu sama, bersaudara, karenanya tidak ada alasan untuk membuat diskrimasi atau perlakuan tidak adil. Bahkan dalam penerimaan kaum wanita masuk dalam komunitas sangha maupun masyarakat mendapat perlakuan lebih. Dalam berkewajiban di tengah masyarakat, Buddha memberikan formulasi, seperti yang dinasehatkan kepada pemuda Sigala sebagai pemujaan terhadap enam arah (D.iii.31). walau hak asasi manusia seorang diakui tanpa keharusan menghubungkan dengan kewajiban orang yang bersangkutan, pengalaman mengajarkan bahwa orang yang melaksanakan kewajibannya terhadap pihak lain dengan baik akan mendapatkan dirinya terlindung dalam masyarakat.

Kutadanta sutta memberikan cara pengorbanan sosial yang menghasilkan kesejahteraan bagi orang banyak (D.i.5). Walaupun pada kotabhnya diberikan pada kalangan Bangsawan, tidak menutup kemungkinan dapat ditarik pula benang merah bahwa ajaran ini juga dapat diterapkan pada kalangan yang universal.

Tidak ada komentar: