Senin, 08 Desember 2008

Wacana Awal Kitab Digha Nikaya

Para ahli sejarah sulit mengetahui secara pasti, kapan dan didaerah mana bahasa pali digunakan di India (Supandi, 1995:xii), berbagai sumber yang berkaitan kurang memberikan kejelasan bahasa yang digunakan oleh Sang Buddha dalam mengkotbahkan ajarannya. Dalam penggunaan bahasa, Buddha menggunakan lebih dari satu bahasa maupun dialek terbukti dengan pemberian nasehat kepada para muridnya untuk menyesuaikan diri dengan bahasa lokal tempat mereka mengajarkan Dhamma (M.ii.234).

Penelitian memperlihatkan Buddha menggunakan bahasa Ardhamagadhi (Conze, 1981:17), Sedangkan berbagai sekte dalam perkembangan agama Buddha mencatat sendiri sabda-sabda Buddha (Tani, 1995:561). Prof. Kogen Mizuno dalam bukunya Buddhis Sutra Origin, Development And Transmission, bahwa Sarvastivada menggunakan bahasa Sanksekerta, Mahasanghika menggunakan bahasa Gandhari Prakit, Samitiya menggunakan bahasa Apabhramsa, dan Sthaviravada menggunakan bahasa Paisaci (Mizuno, 1982:32-39).

Perkembanganya semua kitab suci agama Buddha merupakan terjemahan karena sudah sangat sulit diperoleh dalam bentuk aslinya (Tani, 1995:561). Penulisan kitab suci ada dasarnya terdapat dua versi kitab suci yang lengkap, bersumber pada bahasa Pali dan Sanksekerta. Kitab tipitaka, yang menggunakan bahasa Pali karena dimiliki dan diyakini oleh kaum Theravada. Tipitaka yang terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok disiplin (Vinaya pitaka), kelompok dhamma (sutta pitaka), dan kelompok analisis (Abhidhamma pitaka). Salah satu memuat kumpulan kotbah-kotbah Buddha (Sutta Pitaka) terbagi kedalam beberapa Nikāya, yang salah satu dari lima Nikāya adalah Dīgha Nikāya.

Alasan para Thera untuk membagi kelompok sutta terbagi dalam lima Nikaya didasarkan atas pengelompokan ajaran (Dhamma Vibhanga), ukuran kotbah, dan tujuan pengajaran (Buddhistonline, -:- ). Pengelompokkan dimulai pada Sangha Samaya pertama, yang dimulai dengan tanya jawab terhadap Himpunan Pembabaran Panjang (Dīgha Nikāya), Himpunan Pembabaran Menengah (Majjhima Nikāya), Himpunan Pepatah Serumpun (Samyutta Nikāya), Himpunan Pepatah Bertahap (Anguttara Nikāya), dan Himpunan Kecil (Khuddhaka Nikāya).

Gaya bahasa digunakan dalam penulisan Dīgha Nikāya berbeda dengan penulisan Nikāya lain terutama dalam Samyuta Nikāya (Wena, 2007:15). Bahasa sederhana langsung mengarah pada sasaran merupakan ciri khas dari Dīgha Nikāya, terutama ditujukan pada perumah tangga. Pesan disampaikan kepada pemuda Sigala menggunakan bahasa sederhana dan sistematis, sehingga mudah dipahami, bahasa kiasan dihindari oleh Buddha. Hal berbeda dengan cara penyampaian terhadap para pertapa perihal manfaat menjalani kehidupan sebagai seorang pertapa (D.i.2), penuh dengan penjelasan yang cukup terperinci.

Dīgha Nikāya penuh drama, narasi dan memiliki hiasan-hiasan imajinatif dan legenda. Terlihat pada Brahmajala sutta (D.i.1), dengan penuh drama, Buddha memberikan solusi diantara supiya dan brahmadata yang sedang berdebat. Maha samaya sutta, Buddha mengisahkan para Buddha terdahulu yang penuh dengan bahasa legenda (D.ii.20), dengan hiasan-hiasan imajinatif Buddha menjelaskan tentang evolusi alam semesta (D.ii.27).

Dalam menjelaskan sutta-sutta termasuk di dalam Dīgha Nikāya, yang mencakup kotbah, tempat dan judul, dipertimbangkan agar menjadi jelas. Kesemuanya termasuk asal mula (Samutthana) yang juga disebut cara penyampaian (Nikkhepa), atau sumber/keadaan (Nidana). Pemberian nama kotbah-kotbah Buddha yang dipilih dalam Pitaka-pitaka umumnya diberi sesuai dengan nama tempat, pokok dhamma, dan tokoh.

Sutta-sutta yang terkumpul dalam Dīgha Nikāya memiliki penjelasan yang panjang, dibandingkan koleksi yang muncul kemudian yakni Majjhima, Samyutta, Anguttara, dan Khudhaka yang terakhir. Dīgha Nikāya mengandung penjelasan yang terperinci tentang pokok permasalahan besar yang mengandung etika, sosial, ekonomi, bahkan wawasan kebangsaan.

Judul-judul Vagga tidak memiliki makna khusus dan tidak berarti semua Sutta di dalam Vagga itu berhubungan dengan ide yang disiratkan oleh judulnya. Sistem pengelompokkan sutta menjadi Vagga tidak beraturan, walaupun kadang-kadang beberapa sutta yang berurutan berhubungan dengan satu tema yang sama atau mencontohkan pola yang diperluas (Wena, 2007:33).

Digha Nikaya terdiri dari 34 kotbah panjang yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Silakhanda vagga, Maha vagga dan Patikha vagga. Pendapat para pakar, bahwa landasan utama untuk membedakan Nikāya dalam Sutta Pitaka adalah panjangnya sutta-sutta. Joy Mane dalam Samyutta Nikāya terjemahan Wena menentang asumsi bahwa hanya panjangnya saja yang menjelaskan berbagai perbedaan diantara Nikāya-Nikāya Secara cermat Mane membandingkan sutta-sutta yang terdapat dibeberapa Nikāya memiliki tujuan yang berbeda. Namun ukuran sutta, setting kotbah, dan pokok dhamma, dapat juga disebut sebagai samutthana menjadi latar belakang para thera untuk mengelompokkan sutta dalam ketiga vagga pada saat sangha samaya pertama.

Dīgha Nikāya merupakan koleksi pertama dari Sutta Pitaka pali. Sejarah mencatat bahwa pengulangan Dhamma dan Vinaya dilakukan secara terus menerus pada Sangha samaya pasca Parinibbana Buddha. Pada Sangha samaya pertama pengulangan Dhamma dan Vinaya secara resmi disetujui dan disusun secara sistematis. Pada Sangha samaya pertama Bhikkhu Upali mendapat mandat untuk mengulang Vinaya dan Bhikkhu Ananda mengulang Dhamma (Vin.II.287). Para pelestari Dhamma dan Vinaya masih menggunakan transmisi lisan dalam rangka melestarikan ajaran. Bahkan selama masa kehidupan Sang Buddha para bhikkhu dilatih untuk mendengarkan ajaran dengan penuh perhatian (A.V.136), menyimpannya dalam pikiran, dan mengajar murid-murid mereka untuk mempelajari ajaran-ajaran itu dengan menghafalkannya berulang-ulang.

WAWASAN KEBANGSAAN DALAM KITAB DIGHA NIKAYA

Sifat dan dasar dari semua agama bersifat universal yang mengatasi perbedaan bangsa. Tradisi kuno memberikan arti bahwa bangsa sebagai kesatuan dari orang-orang yang bersamaan asal keturunan, sama pula dalam bahasa dan adat. Asal keturunan memang penting, karena itu sang Buddha mengajarkan kita agar berbakti kepada orang tua dan leluhur (D.iii.31), tetapi martabat manusia tidak diturunkan menurut kasta dan kelahiran (D.i.1).

Setiap warga Negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap Negara. Pembedaan suku dan ras dapat menjadikan potensi konflik. Hal serupa terjadi pada Ambhata yang menyadari bahwa ia bukan keturunan brahmana yang asli (D.i.3), sehingga memiliki hak dan kewajiban yang sama didalam Negara.

Watak demokrasi dari ajaran Buddha menyangkut persamaan dan kebebasan bagi setiap orang, merdeka dalam mengeluarkan pendapat, dan bersifat terbuka (D.ii.16), dan memberi kesempatan bagi perbedaan pendapat dan kritik (D.i..1). Dalam wacana kehidupan bernegara, pandangan ini memberi tempat bagai oposisi dan mendasari apa yang disebut permusyawaratan dan kemufakatan.

Wawasan kebangsaan tidak akan terelepas dari apa yang disebut dengan demokrasi. Sistem konstitusionalme selalu menjunjung tinggi demokrasi. Merujuk pada pendapat Nakae (dalam Mukti, 2003:491), konstitualisme merupakan bdhisatva yang patut dihormati dan sekedar pengnapan, sedankan demokrasi merupakan Buddha yang patut dicintai dan merupakan rumah terakhir.

Kedaulatan dalam sisetem demokarsi dijunjung tinggi, hingga mencapai kesejahteraan suatu bangsa. Sang Buddha mengemukakan syarat-syarat kesejahteraan suatu bangsa, yaitu : (1) pertemuan dan permusyawaratan; (2) mencapai mufakat; (3) menjunjung konstitusi; (4) menghormati pemimpin; (5) menghormati kedudukan wanita; (6) kewajiban beragama; dan (7) melindungi para pemimpin agama (orang suci) (D.ii.16).

Buddha menunjukkan bahwa fenomena demokarsi dan kedaultan ditangan rakyat dapat diikuti dari sejarah lahirnya kontrak sosial untuk membentuk pemerintahan, sekalipun bentuknya monarki (D.iii.27). penguasa itu dipilih oleh orang banyak, diangkat melalui persetujuan rakyat.

Kepemimpinan dapat didefinisikan bermacam-macam tergantung dari titik tolak pemikiran dan pendekatan yang dipergunakan. Drucker (dalam mukti, 2003:504) mendefinisikan kepemimpinan sebagai usaha untuk mengangkat pandangan seseorang ketingkat yang lebih tinggi, meningkatkan prestasi, membentuk kepribadian yang melampaui batas biasa, pandangan seperti ini dapat dikatan mendekati pemikiran buddhis.

Sistem demokrasi dalam pemilihan pemimpin adalah melalui persetujuan rakyat, hal ini identik dengan yang disampaikan oleh Buddha, bahwa beliau tidak mewariskan kekuasaan, dan tidak ingin mengantungkan diri kepada sosok figur pemimpin

SOSIAL BUDDHIS

Sejak awal kemunculannya agama Buddha syarat akan fenomena sosial yang menyangkut persoalan kemanusiaan. Pada awal misi penyebaran dhamma Sang Buddha bercita-cita ingin mewujudkan sistem masyarakat yang dinamis, dengan memperhatikan masalah-masalah kemanusiaan, namun tidak mengesampingkan perkembangan spiritual. juga demi kebahagiaan dan kebaikan banyak orang, demi kasih sayang terhadap dunia, demi kebaikan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.

Latar belakang kemunculan Buddha bukan lain adalah terdorong rasa kasih dan menyelamatkan manusia (A.i.22). Seorang pangeran dengan segala bentuk ketercukupan meninggalkan semua yang dimiliki demi sebuah pencerahan. Walaupun berlatar belakang dari kalangan kasta Bangsawan, Buddha dengan sadar tidak begitu pentingnya akan hal itu. Buddha menyangkal kalau derajat manusia ditentukan oleh kasta yang diwariskan turun temurun dan mengikat sepanjang hidupnya. Sang Buddha tidak pernah membedakan kasta dalam menerima orang-orang untuk memasuki komunitas sangha. Apapun kastanya, yang berbuat baik akan dilahirkan di alam yang menyenangkan, yang berbuat buruk akan dilahirkan dialam menyedihkan (D.iii.27).

Ratnapala (dalam Mukti, 2003:450-452) memberikan lima alasan kenapa Buddha menolak klasifikasi masyarakat, yaitu : 1) pertimbangan bilogis, manusia merupakan satu spesies yang sama; 2) evolusi, tradisi kasta bukan diciptakan pada awal mula kehidupan manusia tapi karena manusia sendiri yang menciptakan (D.i.3; D.iii.27); 3) sosiologis, hanya berlaku dalam masyarakat hindu, bukan bersifat universal; 4) etis dan moral, moral dan spiritual tidak berhubungan dengan kasta; 5) kesatuan spiritual kemanusiaan, setiap manusia memiliki hak sama yang meningkatkan nilai spiritual, semua berpotensi untuk menjadi Buddha.

Ajaran Buddha menawarkan penyelematan melalui jalan tengah (atta arya magga). Ajaran Buddha secara tekstual maupun empiris sebagai realitas sosial-kultural tidak bersifat eksklusif karena sangat mengutamakan aspek kemanusiaan (Mukti, 2003:457).

Aspek kemanusiaan banyak didefiniskan dengan istilah humanisme. Humanisme merupakan gerakan yang menghargai kebebasan dan martabat manusia dalam mengembangkan seluruh kebudayaan (Gerald, 1996:107). Dalam studi humanisme, individu maupun kamunitas manusia dijadikan obyek terpenting. Tujuannya adalah menghidupkan rasa kemanusiaan dan menciptakan pergaulan manusia yang lebih baik.

Kitab Dīgha Nikāya sejalan dengan prinsip humanistik, bahwa diri sendirilah manusia adalah sumber kekuatan dalam mencapai kesempurnaan hidup. Keselamatan manusia dapat dicapai dengan usaha sendiri (D.ii. 16; D.iii.26), dan Buddha menolak bahwa kselematan tidaknya hidup ditentukan oleh dewa maupun brahma (D.i.1).

Humanisme memandang manusia itu sama, bersaudara, karenanya tidak ada alasan untuk membuat diskrimasi atau perlakuan tidak adil. Bahkan dalam penerimaan kaum wanita masuk dalam komunitas sangha maupun masyarakat mendapat perlakuan lebih. Dalam berkewajiban di tengah masyarakat, Buddha memberikan formulasi, seperti yang dinasehatkan kepada pemuda Sigala sebagai pemujaan terhadap enam arah (D.iii.31). walau hak asasi manusia seorang diakui tanpa keharusan menghubungkan dengan kewajiban orang yang bersangkutan, pengalaman mengajarkan bahwa orang yang melaksanakan kewajibannya terhadap pihak lain dengan baik akan mendapatkan dirinya terlindung dalam masyarakat.

Kutadanta sutta memberikan cara pengorbanan sosial yang menghasilkan kesejahteraan bagi orang banyak (D.i.5). Walaupun pada kotabhnya diberikan pada kalangan Bangsawan, tidak menutup kemungkinan dapat ditarik pula benang merah bahwa ajaran ini juga dapat diterapkan pada kalangan yang universal.

ETIKA BUDDHISME

Kata etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti sifat atau adat kebiasaan, atau ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hal dan kewajiban moral (KBBI, 2001: 309). kedua istilah etika dan moral sering dibedakan penggunaannya. Istilah etika lebih menunjuk pada pemikiran filsafat, sedangkan istilah moral menyangkut ajaran atau peraturan.

Filsuf kuno, Immanuel kant (1724-1804), merumuskan basis moral dalam apa yang secara mengesankan disebutnya “imperative kategoris”, suatu perintah tunggal yang berlaku melampui segenap batas perilaku manusia. Sangat kelirulah bila kita memakai orang lain sebagai alat belaka untuk untuk mencapai tujuan seseorang itu sendiri (Solomon, 2002:421), serta hal yang berlawanan dengan moral dan kebaikan harus dilawan atau dihilangkan (Fausan, 2005:40)

Beberapa referensi Buddhisme sering mendefinisikan etika sebagai moral, kebajikan, atau perbuatan baik. Ajaran Buddha tentang sila adalah etika buddhis, petunjuk dan latihan moral yang membentuk perilaku baik. Menurut kosa kata bahasa pali, sila dalam pengertian luas adalah etika dan dalam pengertian sempit berarti moral (Rasyid, 1997:7).

Pemberian definsi tentang Sila juga sbegai berikut: dapat menunjukkan sikap batin, menunjukkan penghindaran yang merupakan unsur batin, menunjukkan pengendalian diri, dan menunjukkan tiada pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan. Perumusan sila secara sederhana dari sabda Buddha, bahwa hindari perbuatan buruk, yang sebaliknya munculkan dan kembangkan hal yang baik, disertai dengan penyucian pikiran (Dhp. 183). vagga pertama dari Dīgha Nikāya, yakni Silakhanda Vagga. Secara umum dalam Silakhanda Vagga berkonsentrasi pada tata nilai dan sila manusia.

Pada sutta pertama bagian Silakhanda Vagga, Sang Buddha memberikan klasifikasi tentang sila yang diperuntukan kepada perumah tangga (cula sila), sila menengah (majjhima sila), hingga pada para pabbajita (maha sila). Dicontohkan oleh Buddha dengan menghindari pembunuhan, membuang pedang, malu melakukan kekerasan. Dengan penuh cinta kasih, hidup mengasihi dan menyayangi semua makhluk (D.i.1).

Sila merupakan tahap permulaan untuk memasuki kehidupan yang lebih luhur dan orang yang melaksanakannya akan memperoleh kebahagiaan duniawi dan surgawi. Dalam pelatihan Dasa Paramita, sila ditempatkan pada posisi kedua setelah dana, karena sila merupakan dasar dalam berlatih menuju kesempurnaan. Buddha memberikan nasehat kepada perumah tangga, pada hari terakhir sebelum mahaparinibbana, tentang manfaat dari pelaksanaan sila : (1) bertambah materi sebagai penunjang kehidupan; (2) dapat memberikan nama baik; (3) percaya diri dalam berelasi maupun berkomunikasi; (4) ketenangan dalam mengahadapi kematian; dan (5) terlahir dialam surga (D.i.16).

Sutta pertama dalam vagga pertama (Silakhanda Vagga), Brahmajala Sutta mengelompokkan sila dalam tiga kategori: peraturan rendah untuk para perumah tangga (cula sila), peraturan menengah (majjhima sila), hingga peraturan besar untuk para samana (maha sila) (D.i.1). Sangat menarik jika melihat pada sutta ketiga Silakhanda Vagga, bahwa mulia tidaknya seseorang tidak tergantung pada keturunan keluarga, tetapi karena kualitas sila yang dimiliki (D.i.1). begitu pula dinasehatkan kepada para samana agar selalu memiliki sila yang sempurna (D.i.2).

Jawaban juga diberikan kepada Mahali penguasa Licchavi dari Magadha yang mengunjungi Sang Buddha, tentang dhamma yang melebihi, dan meninggalkan jenis konsentrasi duniawi, seorang bhikkhu harus memiliki sila yang sempurna dan mencapai jhana-jhana (D.i.6).

Kepada perumah tangga, Sigala, Buddha memberikan rumusan hak dan kewajiban dalam kesehariannya. Hingga saat ini petunjuk tersebut dapat dijadikan prinsip hidup bagi perumah tangga. Buddha memberikan petunjuk yang terinci tentang enam arah yang wajib dihormati, seperti yang diajarkan oleh para ariya. Enam arah tersebut adalah: (1) menghormati orang tua dan anak, (2) menghormati istri dan anak, (3) menghormati sahabat, (4) menghormati keluarga, (5) menghormati brahmana, dan (6) menghormati pelayan (D.iii.31).

Pelaksanaan terhadap sila harus dilengkapi dengan Samadhi yang dapat menghasilkan kebijaksanaan (panna). Karena kehidupan suci harus direalisasikan melalui perbuatan, ucapan dan pikiran (D.i.2). Pemahaman akan tahu mana yang benar ataupun salah, kurang sempurna, karena dalam praktiknya dapat menjumpai dua atau lebih norma yang saling bertabrakkan, misalnya keadilan dan kemanusiaan (Mukti, 2003:209). Berdasarkan hukum kamma dan sebab akibat (kausalitas), seseorang harus mempertanggungjawabkan apa yang diperbuat.

Contoh dilema adalah mencuri untuk menolong orang miskin, jahat karena mencuri, baik karena manolong orang lain. Agar tidak terjebak oleh etika situasional, harus memperhatikan sejumlah prinsip yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. Setiap pertimbangan etis mempertimbangkan pikiran, niat dan motif yang menjadi akar mula suatu perbuatan; serta sebab akibat sehubungan dengan tujuan atau manfaat. Resiko atau manfaat, resiko atau ancaman dan beban yang harus dihadapi. Baik, jika tidak ada pihak yang dirugikan, tidak menimbulkan penyesalan, serta mengahsilkan pembebasan dan ketenangan dari gejolak nafsu (Mukti, 2003:210).

METODE PENGAJARAN BUDDHA


Penyajian dan penyampaian ajaran yang diberikan oleh Buddha dalam bentuk berbeda-beda dalam bentuk dan penyajian, walupun dalam kontek yang sama, sebagai contoh yang menjelaskan tentang satu jenis perasaan tetapi penjelasannya dirinci dalam dua jenis, tiga jenis, lima jenis, enam jenis, delapanbelas jenis, tiga puluh enam jenis, dan seratus delapan jeni (M.ii.397).

Pada dasarnya metode yang digunakan oleh Buddha dalam mengajar berdasar kasih sayang, inilah salah satu cara untuk menyingkirkan penderitaan. “di sini Yasa, tidak ada yang mencemaskan dan yang menakutkan, aku akan mengajarmu,” ucap Buddha kepada Yasa (Vin.i.15). Buddha adalah guru yang sering diposisikan juga sebagai dokter, dan ajaran-Nya diibaratkan sebagai obat yang dipergunakan dengan tepat (Pmj.21).

Penyampaian ajaran juga dilakukan dengan pendekatan individu atau kelompok. Pemberian kotbah diberikan secara sitematik, agar mudah diingat, penyampaian materi dapat diberi urutan nomor, dikelompokkan menurut tema dan berdasar jumlah butir uraian seperti yang ditemukan dalam kitab Anggutara Nikaya, dalam Dīgha Nikāya juga dapat dijumpai adanya pengelompokan tema yaitu Dasutara Sutta (D.iii.34).

Selain narasi deskriptif dan analisis, Buddha banyak menyampaikan ajaran dalam bentuk cerita dan syair. Pengungkapan konsep mungkin menghadapi keterbatasan kata-kata, karena itu yang dipentngkan adalah menangkap makna. Selain memakai sinonim, berbagai perumpamaan, contoh-contoh, visulaisasi dipergunakan untuk memberi penjelasan. Pada akhir pembahasan dibuat kesimpulan yang singkat tetapi jelas. Teknik semacam ini memudahkan para umat untuk memahami dan menghafal apa yang telah diajarkan.

Hampir semua sutta dalam Digha Nikaya berisi diskusi dan debat. Karena cara yang efektif sepanjang tidak mengabaikan aspek manfaat. Buddha merupakan ahli dalam berdebat dan berdialog, dialektika-Nya selalu membuat lawan debat-Nya tunduk. Yang menarik dari secara Buddha adalah perpaduan antara kepala yang dingin dan jiwa yan hangat (Mukti, 2003:319).

Ajaran Buddha pada prinsipnya tidak ada yang dirahasiakan, bersifat terbuka bagi siapa saja (D.ii.16). Buddha menolak adanya otoritas segolongan masyarakat tertentu, yakni kasta Brahmana, yang mempunyai kewenangan agama dan bersifat diskriminatif. Pandangan egalitarian yang melihat semua orang sederajat (Mukti, 2003:307), sehingga Buddha membentuk struktur monastik yang dinamakan Sangha, menampung murid dari berbagai golongan.

Mengacu yang disampaikan Buddha, strategi dan metode dalam pengajaran dibedakan atas: (1) pendekatan positif; (2) pendekatan negatif; dan (3) gabungan pendekatan positif dan negatif (A.ii.111). Buddha juga membedakan tingkat perkembangan manusia kedalam 4 golongan (A.i.135). jenius (ugghatitannu), intelektual (vipancitannu), orang yang dapat dilatih (neyyo), dan orang gagal (Padaparamo), dengan alasan bilamana terdapat sejumlah siswa yang hampir bersamaan tingkat kemampuan, kebutuhan, karakter, perlakuan yang sama bagi semua siswa menjadi cukup berasalan.

Setiap orang unik, pendekatan dalam memberikan ajaran peru memperhatikan potensi, kapasitas, kebutuhan sifat dan minat. Upaya meluruskan pandangan salah terhadap berbagai teori hanya diberikan kepada kalangan pertapa dan Brahmana (D.i.1), tentunya tidak mungkin diberikan kepada perumah tangga kepada Pangeran Payasi (D.ii.23) dan pemuda Sigala (D.iii.31).

Pada akhir kotbah Buddha mengingatkan, setelah menerima kotbah, agar selalu mendiskusikan, kerja sama, saling membantu, dan tidak mempertengkarkannya (D.ii.16). Dengan memperoleh pengalaman dari orang lain, seseorang dapat belajar dan mengembangkan dirinya sendiri.

KARAKTER AJARAN BUDDHA DALAM KITAB DIGHA NIKAYA


Dimensi karya Dīgha Nikāya sungguh mengagumkan, rancangan untuk membangunnya dengan konstruksi yang tegas, langsung dan sederhana. Sastra Dīgha Nikāya terbentuk atas kepadatan ajaran, memberikan kesan keseriusan Buddha dalam memberikan ajaran. Terdapat beberapa sutta yang berbentuk dialog, jawaban atas pertanyaan, dan berdasarkan atas kebutuhan. Tetapi pada Silakhanda Vagga didominasi karena kebutuhan.

Masing-masing vagga mempunyai karakter pengajaran yang berbeda-beda tergantung kebutuhan. Sutta pertama dalam Silakhanda Vagga, Vagga pertama Dīgha Nikāya, dengan berani Buddha merevolusi berbagai pandangan salah yang dianut oleh para pertapa dan brahmana (D.i.1), Brahmajala Sutta diberikan pada saat Buddha berkunjung ke Rajagaha, setelah pencerahan-Nya dihutan Gaya Bodhagaya.

U ko lay juga memberikan alasan yang sama, Brahmajala Sutta ditempatkan pada sutta pertama vagga pertama karena perdebatan antara pertapa Kelana supiya dan Brahmadata, yang mana Guru merendahkan Triratna sedangkan muridnya memuji Triratna (Lay, 2000:38), menimbulkan kotbah terkenal ini diberikan di awal Nikaya ini. Konflik pandangan yang dimiliki oleh Buddha dengan para pertapa terjadi pada sutta ini, Buddha dengan gaya revolusi mengubah berbagai pandangan yang diyakini oleh beberapa lapisan masyarakat.

Semua sutta yang terkumpul dalam Dīgha Nikāya dapat dikatakan bersifat pragmatis menyangkut pemecahan permasalahan untuk menggapai tujuan hidup manusia, terlihat dari beberapa sutta berisi debat tentang tidak adanya pengaruh keturunan dan keluarga terhadap kesempurnaan (D.i.3), begitu tanpak jelas kecerdikkan dan keterampilan Buddha dalam berlogika. Sutta-sutta lain yang begitu jelas memberikan nasehat dan meluruskan pandangan salah terhadap perumah tangga Sigala, tentang penghormatan yang diajarkan oleh para arya (D.iii.31).

Ciri-Ciri Sastra Sutta Dalam Dīgha Nikāya

Ucapan yang disampaikan oleh Buddha tersusun indah, bermakna, mempunyai arti yang tidak dapat dipisahkan. Terdapat berbagai jenis gaya bahasa dan isi perkataan yang disampaikan oleh Buddha (Tani, 1995:848), berupa Sutta, Geya, Gatha, Nidana, Itivuthaka, Jataka, Adhibuta Dhamma, Avadana, Upadesa, Udana, Vaipulya, dan Pakarana.

Kelompok ajaran dalam Dīgha Nikāya berupa kumpulan sutta-sutta yang berukuran panjang. Sutta-sutta dalam Dīgha Nikāya dibangun atas konstruksi yang tegas, sederhana, dan langsung, tidak seperti Nikāya lain setelah Dīgha Nikāya, yaitu Majjhima Nikaya dan Samyutta Nikaya. Dibalik ketegasan, Dīgha Nikāya kurang mengandung hiasan sastra, gatha dan syair, tetapi banyak mengandung narasi deskriptif dan analisis.

Disebutkan dalam pendahuluan The Middle Length Discourses Of The Buddha. Majjhima Nikaya I, diterjemahkan dan diedit dari Bahasa Pali kebahasa Inggris oleh Bhikkhu Nanamoli & Bhikkhu Bodhi, diterjemahkan kebahasa Indonesia Lanny & Wena, penerbit Wismasambodhi, bahwa Dīgha Nikāya penuh drama dan narasi. Format sutta-sutta juga bervariasi, sehingga tidak ada ciri yang terlihat dalam setiap Vagga.

Sebagian besar sutta-sutta dalam Dīgha Nikāya ditujukan kepada para pertapa dan Brahmana, terutama dalam Silakhanda Vagga, namun dalam Maha Vagga dan Patthika Vagga Buddha mengajar terhadap para dewa dan manusia sekaligus (D.ii.20), sehingga gaya bahasa yang digunakan kadang sederhana, perumpamaan, penuh lengenda, penuh analisa, dan pendeskripsian yang dalam.

Berulangkali dapat dijumpai dalam penyampaian gaya bahasa yang khas, berdialog secara langsung terhadap dengan orang-orang berbagai lapisan didalam masyarakat India kuno, dengan Raja, Pangeran, Pertapa, Brahmana, orang-orang desa, para filsuf yang terpelajar, dari pencari kebenaran yang tulus hingga dengan para pembantah yang paling congkak.

Gaya bahasa yang disampaikan oleh murid-murid Buddha tidak jauh beda dengan gaya bahasa Buddha. Karya Dīgha Nikāya juga memperkenalkan murid-murid terampil, yang melanjutkan transmisi ajaran-Nya. Dari 34 sutta, dua sutta diucapkan oleh Bhikkhu Sariputta (D.iii.33; 34), dan sutta lain diucapkan oleh Bhikkhu Ananda (D.i.10), Bhikkhu Kumarakassapa (D.ii.23).

Pada akhir kotbah, biasanya Buddha mempertegas kembali deskriptif dan analisis yang sederhana, dipentingkan untuk menangkap makna atau pembahasan dibuat kesimpulan yang singkat tetapi jelas dan penuh makna. Teknik yang digunakan oleh Buddha memudahkan para umat untuk memahami dan menghafal apa yang telah diajarkan.

Ungkapan dari para siswa setelah menerima kotbah dengan hati yang tenang dan gembira biasanya membuat pernyataan perlindungan terhadap triratna, mengucapkan kata-kata indah untuk menunjukkan kekaguman akan ajaran, menegakkan yang telah roboh, memberi penerangan pada kegelapan, menunjukan jalan pada yang tersesat, dan merupakan berkah yang tidak terhingga.

KONFERENSI SANGHA

Sejarah mencatat bahwa pengulangan Dhamma dan Vinaya dilakukan secara terus menerus pada Sangha samaya pasca Parinibbana Buddha. Sangha samaya berlatar belakang untuk mengulang dan mengelompokkan dhamma dan vinaya.

Pengulangan Dhamma dan Vinaya masih menggunakan transmisi lisan dalam rangka melestarikan ajaran. Bahkan selama masa kehidupan sang Buddha para Bhikkhu dilatih untuk mendengarkan ajaran dengan penuh perhatian (A.V.136), menyimpannya dalam pikiran, dan mengajar murid-murid mereka untuk mempelajari ajaran-ajaran itu dengan menghafalkannya berulang-ulang.

Sangha samaya dilaksanakan tanpa periode yang jelas, hanya bersifat insidental, ketika Dhamma dan Vinaya terdesak maka Sangha Samaya diselengarakan. Berikut kutipan Sangha Samaya yang berhubungan dengan penulisan sutta.

a) Sangha samaya pertama

Tiga bulan setelah Buddha Parinibbana, Sangha Samaya yang pertama diselenggarakan di Goa Satapani Rajagaha. Sangha Samaya yang pertama kali didukung sepenuhnya oleh Raja Ajatasatu. Sangha Samaya dipelopori oleh Bhikkhu Mahakasapa, yang diikuti oleh 500 arahat. Bertujuan menghimpun sekaligus menjernihkan semua ajaran Sang Buddha (Vin. ii. 284-285).

Sangha Samaya pertama berlatar belakang adanya pernyataan Bhikkhu Subbada,”agar jangan berduka, karena telah terbebas dari orang yang mengekang, sehingga dapat berbuat sesuka hati.” Dengan pernyataan tersebut, Bhikkhu Mahakassapa mengajak para Bhikkhu untuk membacakan Dhamma dan Vinaya sebelum terdesak oleh apa yang bukan Dhamma dan bukan Vinaya.

Bhikkhu Maha Kassapa sebagai pemimpin sidang mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Bhikkhu Upali mengenai keseluruhan peraturan disiplin (Vinaya), dimulai dengan dua Suttavibhanga, Mahavagga, Culavagga, dan yang terakhir kitab Parivara diucapkan ulang.

Seuasi pengucapan Vinaya, konsili tersebut meneruskan dengan pengucapan Dhamma. Bhikkhu Maha Kassapa mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Bhikkhu Ananda mengenai keseluruhan Dhamma., dimulai dari Brahmajala Sutta (D.i.1). Ia melancarkan tanya jawab itu terhadap seluruh Himpunan Pembabaran Panjang (Dīgha Nikāya), Himpunan Pembabaran Menengah (Majjhima Nikāya), Himpunan Pepatah Serumpun (Samyutta Nikāya), Himpunan Pepatah Bertahap (Anguttara Nikāya), dan Himpunan Kecil (Khuddhaka Nikāya).

b) Sangha samaya kedua

Sangha Samaya yang kedua diselenggarakan di Wihara Valukarana, didekat Vesali. Dilaksanakan satu abad setelah wafatnya Sang Buddha, pada tahun 100 Era Buddhist (443 SM). Bhikkhu Sabbakami mengetuai tujuh ratus arahat dalam sangha samaya kedua. Raja kalasoka menyediakan bantuan selama sangha samaya selama delapan bulan.

Sangha Samaya diselenggarakan berlatar belakang karena para Bhikkhu Vajji dari Vesali mempunyai kebiasaan berlatih sepuluh pokok (dasavatthuni), yang tidak dibenarkan pada Sangha Samaya pertama. Pada Sangha Samaya kedua dilakukan pengulangan Dhamma dan vinaya, seperti yang dilakukan pada Sangha Samaya pertama.

c) Sangha Samaya ketiga

Sangha Samaya ketiga dilaksanakan di Wihara Asokarama Pataliputta, pada tahun 235 BE (308 M). Alasan utama untuk mengadakan Sangha Samaya ketiga adalah (1) menertibkan perbedaan pendapat yang menyebabkan perpecahan sangha; (2) memeriksa dan menyempurnakan kitab suci pali, dan (3) diadakannya upacara uposatha setiap bulan.

Bhikkhu Moggaliputta Tissa mengetuai Sangha Samaya, yang diikuti oleh seribu orang Arahat. Sangha Samaya tersebut berlangsung sembilan bulan dibawah santunan Raja Asoka. Hasil dari Sangha Samaya, ajaran Abhidhamma diulang oleh bhikkhu maha kassapa, sehingga kitab suci menjadi lengkap, kemudian disebut Tipitaka.

Para ahli sejarah mengatakan bahwa pada Sangha Samaya ketiga bukan Sangha Samaya umum, sehingga hasil dari pengulangan kitab Tipitaka pali hanya diakui oleh kaum Sthaviravada (Buddhistoline, - : -)

d) Sangha Samaya keempat

Sangha Samaya keempat diadakan di Wihara Aloka, Desa Matale Sri Lanka, kira-kira tahun 450 BE, saat bertahtanya Raja Vattagamani Abhaya (101-77 SM). Berlatar belakang mencari penyelesaian tentang adanya kemungkinan yang mengancam ajaran dan kebudayaan agama Buddha.

Lima ratus Bhikkhu terpelajar yang diketuai oleh Bhikkhu Rakkhita Mahathera mengadakan Sangha Samaya tersebut.. Kesimpulan dari sangha samaya keempat adalah : (1) mengulang tipitaka; (2) menyempurnakan kitab komentar (Atthakatha), dan (3) menuliskan tipitaka dan komentar diatas daun palem Demikanlah, ajaran Buddha, yang telah diteruskan secara lisan sacara beberapa abad, akhirnya dituang kedalam bentuk tulisan.

e) Sangha samaya kelima

Sangha samaya kelima dilaksanakan di Mandaly, Myanmar, pada tahun 2415 BE (November 1871). Dua ribu empat ratus bhikkhu yang dipimpin oleh Bhikkhu Jagarabhivamsa turut serta dalam Sangha Samaya ini. Raja Mindon meresmikan dan memberikan dukungan pada Sangha Samaya kelima sampai terakhir.

Selama berlangsungnya konsili ini, kitab Tipitaka Pali yang semula dituliskan pada daun palem, dipahatkan pada 729 potongan batu pualam, yang terdiri dari 111 potong batu pualam yang berisikan Vinaya Pitaka, dan 410 potong batu pualam yang berisikan Sutta Pitaka, dan 208 potong batu pualam yang berisikan Abhidamma Pitaka.

Pemahatan batu pualam dilaksanakan didaerah Pagoda Maha Lokamarajina Kuthodaw, di kaki bukit Mandalay. Pemahatan memakan waktu selama tujuh tahun, enam bulan, dan empat belas hari. Kemudian para bhikkhu mengucapkan ulang seluruh isinya selama lima bulan tiga hari.

f) Sangha samaya keenam

Sangha Samaya keenam dimulai pada hari bulan purnama bulan Vesakha, tahun 1954 di Gua Mahapasana, Kaba-Aye, Yangon, Myanmar. Sangha samaya diselenggarakan guna memurnikan dan memajukan ajaran Buddha. Dua ribu lima ratus bhikkhu terpelajar dari berbagai Negara, terutama Myanmar, Thailand, Sri Lanka, Kamboja, dan Laos, berpartisipasi dalam Sangha Samaya ini. Bhikkhu Revata (Nyaung Yan Sayadaw) menjadi Ketua, Bhikkhu Sobana (Mahasi Sayadaw) sebagai penanya, dan Bhikkhu Vicittasarabhivamsa (Mingun Sayadaw) sebagai penjawab.

Selama Sangha Samaya, kitab Tipitaka Pali, komentar (Atthakatha), dan sub komentar (Tika) ditinjau ulang. Sangha Samaya diadakan pada tahun 1954 ini berlangsung sampai semua tugas tuntas pada hari bulan purnama bulan Vesaka tahun 1956, bertepatan dengan peringatan 2.500 tahun Buddha mencapai Parinibbana. Pada Sangha Samaya keenam pula, kitab suci Tipitaka Pali diterjemahkan kedalam bahasa barat.